
Abdul Qadir Al-Jailani adalah salah satu tokoh sufi yang sangat dihormati dan dikenal di seluruh dunia, terutama di kalangan umat Islam. Beliau adalah seorang pemimpin sufi yang lahir di kota Na'if, Rezvanshahr, Provinsi Gilan, Persia (sekarang Iran), pada tanggal 23 Maret 1078 M (Ramadhan 470 H).
Dari perjalanan hidupnya yang penuh dengan pengabdian, beliau menjadi panutan dalam bidang tasawuf dan Islam secara umum.
Namun, ada sejumlah pertanyaan dan perdebatan yang muncul mengenai gambar dan lukisan beliau yang banyak ditemukan di berbagai tempat, termasuk di Indonesia.
Artikel ini akan mengulas perjalanan hidup Abdul Qadir Al-Jailani, serta mengajak pembaca untuk merenungkan pentingnya sikap kritis dalam memahami warisan spiritual dan budaya yang berkaitan dengan tokoh besar ini.
Latar Belakang Kehidupan Abdul Qadir Al-Jailani
Asal-Usul dan Keluarga
Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani
Abdul Qadir Al-Jailani lahir dari keluarga yang terhormat. Ayahnya, Abu Shalih Musa Al-Hasani (Janaki), dan ibunya, Ummi Khair Fatima, adalah keturunan mulia. Keluarga beliau dikenal sebagai keturunan dari Nabi Muhammad, yang menambah kehormatan dalam masyarakat Islam pada masa itu.
Nama lengkap Abdul Qadir adalah Muḥyī-al-Dīn Abū Muḥammad b. Abū Sāleh ʿAbd al-Qādir al-Gīlānī. Nama Jailani yang dikenal luas di Indonesia berasal dari kata "Gilani," merujuk pada Provinsi Gilan, tempat kelahirannya. Karena perbedaan pelafalan, nama ini kemudian berubah menjadi Jailani di kalangan masyarakat Indonesia.
Abdul Qadir Al-Jailani memiliki 9 anak, yaitu Abdul Razzaq Gilani, Abdul Wahab Gilani, Abdul Jabbar Gilani, Abdul Aziz Gilani, Issa Gilani, Musa Gilani, Ibrahim Gilani, Muhammed Gilani, dan Yahya Gilani. Keluarga besar beliau ini juga berperan dalam menyebarkan ajaran Islam dan tasawuf yang diajarkan oleh Abdul Qadir di berbagai wilayah.
Pendidikan dan Kehidupan Spiritual
Sejak muda, Abdul Qadir Al-Jailani menekuni ilmu agama dan tasawuf. Beliau melakukan perjalanan ke Baghdad, yang pada waktu itu merupakan pusat ilmu pengetahuan dan spiritualitas Islam, untuk belajar dari ulama-ulama terkemuka. Di sana, beliau mempelajari berbagai disiplin ilmu, termasuk fikih, tafsir, hadis, dan tasawuf.
Baghdad menjadi tempat di mana Abdul Qadir Al-Jailani mengembangkan ajaran sufisme-nya, yang kemudian dikenal sebagai Qadiriyah. Aliran ini menekankan cinta kepada Allah, pengendalian hawa nafsu, dan kepasrahan total kepada kehendak-Nya. Ajaran Qadiriyah menyebar luas ke berbagai belahan dunia Islam, termasuk Asia Selatan, Timur Tengah, dan Afrika.
Kewafatan Abdul Qadir Al-Jailani
Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani
Setelah kehidupan yang penuh dengan pengabdian, Abdul Qadir Al-Jailani wafat pada tanggal 21 Februari 1166 M (10 Muharam 571 H) di Baghdad, Iraq. Beliau wafat dalam usia 88 tahun dalam penanggalan Masehi. Makam beliau di Baghdad masih menjadi tempat ziarah bagi banyak orang yang menghormati sosoknya hingga saat ini.
Pertanyaan Seputar Gambar dan Lukisan Abdul Qadir Al-Jailani
Popularitas Lukisan dan Gambar Abdul Qadir Al-Jailani
Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani
Di berbagai wilayah, terutama di Indonesia, banyak ditemukan lukisan atau gambar yang konon menggambarkan sosok Abdul Qadir Al-Jailani. Gambar-gambar ini sering kali dijual di pasar-pasar, dijadikan pajangan di rumah, dan bahkan dalam beberapa kasus diperlakukan dengan pemujaan yang berlebihan.
Namun, pertanyaan yang muncul adalah: dari mana asal usul gambar-gambar tersebut?
Ketika kita mengetik nama Abdul Qadir Al-Jailani di mesin pencari seperti Google, gambar-gambar ini akan muncul dalam berbagai versi.
Ada yang digambarkan dengan wajah yang penuh wibawa, ada juga yang menunjukkan sosok beliau dengan pakaian ala sufi.
Namun, kita perlu bertanya lebih dalam: apakah lukisan-lukisan ini benar-benar representasi asli dari sosok Abdul Qadir Al-Jailani? Siapa yang pertama kali melukis wajah beliau, dan atas dasar apa lukisan tersebut dibuat?
Ketidaktepatan Representasi Visual
Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani
Sebagai seorang tokoh yang hidup pada abad ke-12, Abdul Qadir Al-Jailani tidak mungkin difoto atau dilukis secara langsung oleh seniman sezaman. Dalam Islam, tradisi penggambaran visual tokoh-tokoh agama, terutama Nabi dan sahabat, sering kali dianggap kontroversial dan bahkan dilarang. Hal ini berkaitan dengan larangan untuk membuat patung atau gambar yang bisa mengarah pada pengultusan.
Dalam konteks ini, gambar-gambar Abdul Qadir Al-Jailani yang banyak beredar jelas menimbulkan pertanyaan.
Siapa yang pertama kali menggambar beliau? Apakah berdasarkan deskripsi lisan dari murid-muridnya, atau hanya interpretasi dari seniman yang hidup jauh setelah beliau wafat? Kapan lukisan-lukisan ini dibuat, dan untuk tujuan apa?
Dampak Pengultusan Berlebihan
Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani
Yang lebih mengkhawatirkan adalah bagaimana gambar-gambar ini diperlakukan oleh sebagian masyarakat.
Di beberapa kampung atau daerah, lukisan Abdul Qadir Al-Jailani dipajang di tengah rumah dengan bingkai megah dan bahkan diberi penghormatan khusus. Dalam beberapa kasus, ini bisa dianggap sebagai bentuk pengultusan yang berlebihan, yang sebenarnya bertentangan dengan ajaran Islam yang murni.
Pengultusan terhadap tokoh agama, meskipun dimaksudkan sebagai bentuk penghormatan, bisa dengan mudah melenceng dari esensi ajaran agama itu sendiri. Islam mengajarkan tauhid yang murni, di mana hanya Allah yang layak disembah dan dihormati secara mutlak.
Menghormati tokoh agama adalah hal yang wajar, namun jika penghormatan tersebut berubah menjadi pemujaan, maka hal ini bisa menimbulkan masalah dalam keimanan seseorang.
Pentingnya Berpikir Kritis
Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani
Sebagai umat Islam, kita diajarkan untuk selalu berpikir kritis dalam segala hal, termasuk dalam hal-hal yang berkaitan dengan tradisi dan kebiasaan yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Lukisan-lukisan yang menggambarkan sosok Abdul Qadir Al-Jailani mungkin tidak dimaksudkan untuk disembah atau dipuja, namun jika penggunaannya sampai pada titik di mana masyarakat mulai meyakini bahwa gambar tersebut memiliki kekuatan khusus, maka hal ini perlu diwaspadai.
Sikap kritis ini bukan berarti kita meragukan keagungan dan peran besar Abdul Qadir Al-Jailani dalam sejarah Islam. Sebaliknya, kita justru semakin menghormati beliau dengan menjaga kemurnian ajarannya, tanpa mencampurkannya dengan praktik-praktik yang bisa melenceng dari nilai-nilai Islam yang sejati.
Menghormati Abdul Qadir Al-Jailani dengan Benar
Cara terbaik untuk menghormati Abdul Qadir Al-Jailani adalah dengan meneladani ajaran-ajaran beliau, terutama dalam hal tasawuf dan kedekatan kepada Allah. Penghormatan kita terhadap beliau tidak perlu diwujudkan dalam bentuk gambar atau lukisan, melainkan dengan mempelajari dan mengamalkan nilai-nilai yang beliau ajarkan.
Sebagai umat Islam, kita juga harus waspada terhadap segala bentuk pengultusan yang berlebihan. Penghormatan terhadap tokoh agama seharusnya tidak merusak keimanan dan tauhid kita kepada Allah. Setiap tindakan yang kita lakukan, termasuk cara kita menghormati ulama dan tokoh sufi, harus selalu berdasarkan nilai-nilai yang diajarkan oleh Al-Quran dan Sunnah.
Penutup
Abdul Qadir Al-Jailani adalah sosok yang sangat dihormati dalam sejarah Islam, terutama di kalangan para sufi. Kehidupan dan ajarannya memberikan banyak inspirasi bagi umat Islam hingga saat ini.
Namun, kita juga harus berhati-hati dalam cara kita menghormati beliau. Gambar dan lukisan yang beredar mungkin bukan representasi asli dari sosoknya, dan pengultusan yang berlebihan bisa merusak esensi ajaran Islam yang murni.
Sebagai umat Islam, kita perlu berpikir kritis dan selalu menjaga kemurnian iman kita, sambil terus menghormati tokoh-tokoh agama dengan cara yang benar.