
Percakapan ini terjadi Ketika aku masih bekerja di kapal pesiar dan aku terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia secara bebas.
Suatu saat kami terlibat obrolan lumayan serius dengan kawan-kawan sepekerjaanku di antaranya Silvia Alejandra Ascoy (Peru), Assia Bennani (Maroko), Vanessa Daniele (Belgia), Maria Den Hollander (Belanda), Laura Hinsching (Jerman), Macy Jane Filafuer (Filipina).
Hal yang menjadi pokok pembicaraan adalah tentang Hamil Di Luar Nikah.
Mulanya, karena sesama orang Asia, aku nanya sama si Macy : “Macy, bagaimana cara kalian menyiasati supaya tidak terjadi kehamilan di luar nikah.”
“Emang kenapa, Sep?” dia balik nanya.
“Ya, tahu sendiri lah. Kalau punya anak di luar nikah, kan lumayan repot.”
“Repotnya?” kejar Macy.
“Ngurus surat kelahiran, rasa malu kepada masyarakat dan terutama cara membiayai anak tersebut. Dah gitu, harus nikah lagi dengan rasa terpaksa. Intinya, belum siap baik secara materi maupun psikologi,” paparku.
“Iya sih, sama juga seperti di Filipina. Tapi masyarakat di sana sudah mulai permissive terhadap hal seperti itu. Cuma karena Gereja sangat dominant, jadinya ya umpet-umpetan gitu, “ jawab Macy.
“Ngapain mesti repot? Punya anak ya punya anak lah,” Vanessa nimbrung.
“Masalahnya bukan itu saja, selain mereka masih di bawah umur dan belum siap nikah, mereka juga belum kerja, jadi gak punya biaya untuk anak. Bukan begitu, Sep?” Assia ikut memperjelas masalah.” dan di negara si Asep, pengaruh Agama sangat kuat, di mana melakukan hubungan suami isteri sebelum nikah, apalagi di bawah umur, tidak diperbolehkan.”
Aku bisa mengerti kalau Assia bisa menjelaskan seperti itu, karena pada dasarnya dia juga beragama Islam, walaupun jarang kulihat sholat. Dan dia pun tahu, bahwa aku juga beragama Islam. Maroko sama Indonesia mayoritas masyarakatnya memeluk agama Islam.
“Kalau gitu, ya jangan ML dong.” Kata Vanessa lagi.
“Kalu gak kuat?” Kata Laura sambil tertawa.
“Suruh laki lo pake kondom aja.” Vanessa nambahin sambil ikut tertawa.
Mukaku lumayan merah mendengarnya, karena memang tidak biasa mendengar pembicaraan wanita yang blak-blakan seperti itu.
“Buat kita yang orang barat, laki kita suruh pake kondom aja. Beres.”
Maria yang dari tadi menyimak saja, ikut angkat bicara. Sambil tatapannya berpindah-pindah dari muka Vanessa ke muka Laura.
“Di gue juga gak masalah” kata Silvia.
Aku juga bisa mengerti sih, kalau di Peru, di negaranya Silvia, hal itu bukan masalah besar karena dia tinggal di Amerika latin, ya gak jauh beda dengan Amerika Utara. Sama-sama benua Amerika, ha..ha.
“Lo pake kondom juga, kan, Sep?” Tanya Laura.
“Ngapain gue pake kondom? Orang gue udah kawin.” Kataku dengan suara meninggi. “Ini masalahnya adalah melakukan hubungan suami isteri sebelum nikah biar gak hamil karena akan membuat masalah, apalagi buat anak di bawah umur”
“Jadi intinya pengin ML tapi gak mau hamil, gitu?” Tanya Laura.
Aku menangguk.
“Ya sudah, pake kondom aja.”
“Di negara gue, menyuruh apalagi mengajarkan pake kondom itu juga gak boleh. Itu sama dengan meligitimasi atau bahkan memfasilitasi orang untuk melakukan hubungan sex.” Jawabku.
“O, ya?!” Laura, Silvia, Maria barengan kaget.
“Anak gue yang baru SD malah sudah nanyain tentang masalah sex, “ kata Silvia di tengah keherannannya.”Ya udah gue terangin. Dengan batas-batas dan pemikiran seumuran dia.”
“Di Belanda, apa lagi. Usia 12-13 tahun, sudah diajarkan bagaimana caranya mencegah kehamilan” tambah Maria.
“Di negara gue juga, pendidikan sex itu sudah diajarkan sedari sekolah dasar. Jadi mereka mengerti bagaimana caranya sex yang aman. Alias gak hamil” ucap Vanessa.
“Di Filipin gimana, Mecy?” tanyaku sambil mengalihkan pandangan ke Macy.
“Yang gw bilang tadi, kucing-kucingan. Jadi sex yang aman memang secara tidak langsung diajarkan tanpa sepengetahuan gereja.” Jawabnya. “Atau memang gerejanya tahu, tapi pura-pura tidak tahu. Gue gak tahu.”
“Kalau di Maroko?” tanyaku ke Assia.
“Kayaknya situasinya mirip-mirip di negara lo deh, Sep” Assia menjawab sambil senyum-senyum kecil.